Jumat, 01 Mei 2009






Mempersoal Kualitas Caleg Kita

Oleh: Muhammad Zaairul Haq*

“Indonesia sedang panas”, begitu kata seorang rakyat ketika menyaksikan pemilu legislatif baru-baru ini. walau isu tentang hal ini sudah dianggap tak “indah” lagi, namun kita akan membuatnya kembali “indah” ketika suatu pertanyaan tentangnya diajukan dalam sebuah wacana publik, yang memungkinkan pertanyaan itu menjadi tema perenungan kita di waktu malam hari, dalam keadaan sendiri, ataupun dalam tema dalam perbincangan hangat di ruang seminar yang memungkinkan adanya ide-ide baru yang segar dari sebagian kecil rakyat yang berusaha untuk membuat suatu perubahan ke arah yang lebih baik.

Pertanyaan yang hendak penulis ajukan pada tulisan kali ini adalah, “Penyakit apa yang sebenarnya sedang diderita para caleg kita?” adalah suatu pertanyaan yang wajar diajukan (menurut hemat penulis) ketika kita mendengar dan melihat dalam siaran berita di TV, radio, atau membaca koran harian, tentang nasib dan kenyataan pahit yang harus diderita para caleg kita yang gagal dalam pemilu legislatif. Misalnya saja, ada di antara mereka yang stress berat, gendheng alias gila, strok, dan bahkan ada yang tiba-tiba terkena serangan jantung dan meninggal dunia. Sehingga bisa dikatakan bahwa pascapemilu legislatif merupakan saat-saat terberat dalam kehidupan caleg yang gagal dalam “rebutan kursi”.

Fenomena ini sebenarnya (menurut penulis) tidak rasional ketika para caleg merasa kecewa tidak berhasil menjadi anggota legislatif. Mengapa demikian? Karena dilihat dari sudut pandang agama, apa yang mereka perebutkan ini adalah amanat yang diamanatkan. Dan bahkan sebuah amanat yang sangat berat karena menyangkut masyarakat luas yang tentunya akan dipertanggungjawabkan di hadapan tuhan. Lalu mengapa mereka harus kecewa? Apa mereka kecewa karena telah mengeluarkan uang hingga ratusan juta bahkan miliaran rupiah ? Apa kecewa karena tidak jadi mendapatkan pekerjaan? Atau kecewa karena sebab lain? ini yang perlu dipertanyakan.

Menurut penulis, adalah suatu keputusan yang tidak bijak untuk berebut kekuasaan seperti itu dengan mengeluarkan biaya sangat besar. Semua itu tidak sesuai dengan ajaran mbah-mbah (para pendahulu kita), tidak sesuai dengan semangat pancasila, bahkan tidak sesuai dengan ajaran agama. Agama –yang memandang kekuasaan sebagai amanah- mengajarkan bagaimana amanah itu dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, dengan niat yang benar, tulus, dan ikhlas. senantiasa bermuhasabah diri, bertanya kepada diri sendiri, memperbaiki yang perlu diperbaiki, dan mempertahankan prestasi baik yang berhasil dicapai. Dan ketika tugas untuk menanggung amanah selesai dijalankan, maka serahkanlah amanah itu kepada rakyat, biarkan rakyat yang menentukan penggantinya.

Dan pemilu legislatif adalah adalah saat di mana rakyat tengah mencari penguasa baru, yang siap memikul amanat yang diamanatkan dan beban berat yang diberikan. Dalam saat-saat seperti ini rakyat harus pandai-pandai memilih wakil yang layak menduduki kursi pemerintahan, jangan gegabah, harus penuh perhitungan, dan jangan mementingkan kenikmatan sesaat dengan melalaikan kebahagiaan jangka panjang. Namun ironisnya, pada saat-saat seperti ini banyak dari rakyat Indonesia yang kemudian lalai. Mereka kemudian ramai-ramai mencalonkan orang-orang yang tidak berkualitas, yang tidak memenuhi kriteria-kriteria pemimpin yang baik. Akibatnya, banyak sekali caleg yang “sakit”, baik secara mental maupun spiritual, baik jasmani maupun rohani. Sangat ironis memang, ketika rakyat Indonesia memilih para calon pemimpin yang bisa diandalkan, mereka harus dihadapkan pada buruknya kualitas calon yang diajukan, sehingga golput menjadi pilihan yang dipandang paling bijak, daripada memilih orang-orang yang “tak jelas”.

Angka golput pada pemilu kali ini sangat memprihatinkan. Buruknya caleg yang diajukan juga memprihatinkan. Dan sakitnya para caleg yang gagal juga tambah memprihatinkan. Kesimpulannya, Indonesia sedang dalam situasi yang memprihatinkan. Dimanakah orang-orang yang berkualitas berada? mengapa sebagian besar yang menjadi caleg adalah orang-orang yang tak jelas? Ada sebagian orang yang nyletuk, “Tidak semua caleg tidak berkualitas. Ada diantara mereka yang berkualitas, yang pantas dipilih rakyat, dan pantas menanggung amanah yang diamanahkan.”

Penulis berusaha menyerang pertanyaan tersebut, “Berapa persenkah dari caleg yang diajukan yang benar-benar memenuhi kriteria pemimpin yang baik?” penulis kira sangat sedikit. Bahkan menurut seorang rakyat, “Sangat sedikit sekali, ibarat tai cicak yang lebih banyak hitamnya daripada putihnya.”

Sangat wajar bila ada yang mengibaratkan kualitas para caleg kita dengan tai cecak, karena memang kebanyakan dari caleg adalah orang-orang yang mengindap penyakit, yang bahkan jauh-jauh hari telah diramalkan akan kambuh lagi pasca pemilu legislatif. Dan kenyataannya, seperti yang dapat kita saksikan sekarang ini, caleg kita benar-benar banyak yang sakit. Dan pada akhirnya, melalui tulisan ini penulis hanya ingin mengajak semua rakyat Indonesia, atau siapapun yang mengaku cinta kepada Indoneisa, untuk bersama-sama membangun Indonesia ke depan yang lebih baik, tentunya dengan memilih pemimpin yang baik, yang dapat membuat kebijakan-kebijakan yang terarah, kreatif, inovatif, dan bermanfaat bagi seluruh rakyat Indonesia, tanpa kecuali.



* Penulis adalah pemerhati masalah sosial dan budaya, khususnya budaya lokal (Jawa), juga seorang mahasiswa fakultas Tarbiyah, jurusan Pendidikan Bahasa Arab, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.